Kenapa takut naik pesawat terbang?


Ketika nulis blog ini, sebenarnya saya lagi membaca buku The Naked Traveler Antologi-nya Trinity. Tapi, ada satu topik di buku tersebut yang menurut saya sama dengan apa pengalaman saya pribadi. I then stop reading, and get to write. Karena, mumpung punya ide menulis, takutnya malah lupa.

Ya, sama seperti judulnya, saya jadi ingin membahas kenapa saya takut naik pesawat. Karena, ternyata seorang travel writer Trinity saja, yang sudah traveling ke berbagai negara, yang sudah menginjakkan kakinya di berbagai destinasi wisata di dunia, masih takut naik pesawat terbang.

Di bukunya diceritakan berbagai pengalamannya saat naik pesawat, dan memang pengalamannya lebih parah dari saya yang hanya bisa dihitung jari sebelah kanan. Pengalaman saya naik pesawat malah jadi gak ada apa-apanya dan wajar-wajar saja jika dibandingkan dengan Trinity. Ya, paling hanya turbulensi.

Begitu membaca kalau Trinity ternyata takut naik pesawat, saya jadi seperti punya teman. Bukan saya saja ternyata yang takut naik pesawat. Trinity juga sama, orang-orang di luar sana juga mungkin banyak yang takut juga.

Kembali, ke tulisan yang saya baca. Dia takut naik pesawat, ya mungkin faktor utamanya adalah karena faktor "U", umur. Semakin tua dia bilang jadi semakin penakut. Atau, bisa juga karena terpengaruh dengan hal-hal lain. Film, misalnya. 

Banyak kan film-film yang menggambarkan tentang ketegangan di dalam pesawat yang akan jatuh. Karena, dibajak lah, faktor alam lah, human eror lah, dan ada juga yang tiba-tiba meledak, seperti di film final destination. Kalau gak tau atau belum pernah nonton, coba aja search dan nonton dulu filmnya yang pertama. 

Selain film, kecelakaan pesawat terbang juga menjadi pemicu rasa takut. Biasanya, berita-berita tentang kecelakaan pesawat menjadi fokus utama dalam setiap berita. Di berbagai media sosial juga suka heboh membahas tentang ini. Kadang, beritanya ditambah dengan cerita-cerita ketegangan sebelum pesawat jatuh. Suara teriakan pilot dan co-pilot. Kepanikan para penumpang pesawat dan gambaran kesedihan para keluarga yang ditinggalkan.

Mungkin, alasan-alasan yang Trinity sebutkan di bukunya menjadi jawaban kenapa saya jadi takut naik pesawat. Seperti yang saya bilang tadi, kalau saya baru beberapa kali naik pesawat. Dan, pengalaman saya gak separah Trinity. Pengalamnnya bisa dibaca lebih lengkap di buku The Naked Traveler Antologi, ya.

Pengalaman pertama saya adalah ketika pulang dari Bali. Saya harus naik pesawat karena seorang teman yang harus pulang lebih cepat karena ada urusan pekerjaan. Jadi,  mau gak mau saya juga harus pulang naik pesawat. Padahal, sebelumnya saya berencana untuk pulang via jalur darat lagi, sama ketika berangkat ke Bali. Karena, disesuaikan dengan keuangan, akhirnya saya memilih tiket pesawat yang paling murah diantara maskapai lainnya.

Ini juga sepertinya yang menjadi rasa takut semakin menjadi. Banyak orang yang bilang kalau naik pesawat murah, keamanan dan keselamatannya jadi kurang diperhatikan. 

Benar aja, saya yang pertama kali baru naik pesawat, agak ditakutkan dengan suara mesin yang menderu. Ketakutan saya diperparah dengan obrolan penumpang lain yang bilang kalau, jangan-jangan pesawatnya baru sampe, mesinnya masih panas. Jangan langsung terbang harusnya. Haduh, saya jadi kepikiran. 

Lalu, beberapa penumpang, walaupun pesawat belum take-off, terlihat masih main handphone. Ibu-ibu dan bapak-bapak kelihatan masih asyik telpon sana sini, mungkin sedang memberi kabar ke keluarganya. Saya takutnya, karena ketidaktahuan mereka, malah lupa matiin Hp sampai pesawat sudah terbang.

Pramugari pramugara memang selalu mengingatkan untuk mematikan hp, tapi tetep saja gak didengar. Lagian, mereka juga kan gak mungkin harus nungguin si bapak atau ibu itu sampai mematikan hp atau setidaknya merubahnya ke mode pesawat.

Walaupun, baru satu kali naik pesawat. Turbulensinya menurut saya sangat parah, sampe semua tutup bagasi dalam dan badan saya bergetar. Turbulensinya terus berulang-ulang, dan sering juga. Malah, saya kira setengah penerbangannya itu turbulensi semua.

Pengalaman kedua, yaitu ketika naik Pesawat Garuda Indonesia. Sebenarnya penerbanan sangat lancar. Gak terjadi hal-hal yang menakutkan. Tapi, dasar sayanya saja yang takut naik pesawat, jadi gak terlalu enjoy. Padahal, turbulensinya gak separah ketika pertama kali saya naik pesawat si merah.

Jadi, gak salah ternyata, saya bilang kalau penerbangan pertama itu turbulensinya parah. Karena di pengalaman terbang yang kedua, turbulensi gak terlalu terasa dan gak sering juga. 

Saya bandingkan juga dengan penumpang pesawatnya. Mereka kelihatan tertib duduk, dan gak banyak yang main Hp. Gak ada yang bolak balik ke toilet juga saat peringatan sabuk pengaman harus dipake. Pengalaman saya di penerbangan pertama, ada seorang bapak yang mau ke toilet, dia malah nunggu di depan pintu toilet. Pramugari sudah memperingatkan untuk duduk dulu karena sedang turbulensi dan harus pakai sabuk pengaman. Haduh, jago juga si bapak, gak ada takut-takutnya.

Sebenarnya, dilema juga sih, ketika saya yang punya mimpi untuk keliling dunia, untuk traveling ke Belanda, Rusia, Ceko, dan ke belahan dunia lainnya, tapi malah takut naik pesawat. Walaupun, pesawat terbang ini adalah transportasi yang paling aman dibandingkan kereta api, mobil, dan lainnya. Tapi, tetep aja rasa takut itu gak pernah hilang. Ya, jadi harus cari jalur lain untuk bisa traveling ke suatu negara. 

Comments

Popular posts from this blog

Hiking ke Gunung Karang, Bisa Sambil Berkemah dan Belajar Sejarah

Wisata Religi ke Batu Quran Pandeglang Banten

Istilah Staycation Semakin Populer, Apakah Artinya?

Travel Blog Indonesia Untuk Kita Semua

Pantai Bandulu Anyer, Lebih Mantap Dikunjungi Setelah Matahari Terbenam

4 Hal Seru Yang Ada Di Pantai Bandulu Anyer

Titik Nol Kilometer Anyer - Panarukan