Trinity, Free Writing, dan Menjadi Travel Blogger

Buku Free Writing dan The Naked Traveler (Dok. Pribadi) 

Sayang sekali, dulu saya bukan tipe orang yang suka membaca. Bukan tipe orang yang bisa duduk berlama-lama untuk membaca sebuah buku. Tidak merasa enjoy dan "butuh" untuk menggali apa saja yang ada di buku dan mengambil manfaat di dalamnya.

Tapi, kalau waktu itu bisa diulang kembali, saya ingin masa-masa itu tidak terjadi. Kalau saat itu saya tahu bahwa untuk bisa menulis satu atau dua kalimat saja saya membutuhkan banyak buku untuk dibaca, mungkin saya akan segera mencari dan membaca buku apa saja.
 

Sekitar tahun 2013, saya membeli buku The Naked Traveler karya Trinity di emperan toko di daerah Kalapa, Bandung. Mata saya tertuju ke jejeran buku-buku dengan berbagai macam ukuran dan warna, sebuah pemandangan yang belum pernah saya lihat sebelumnya.

Ada banyak buku semelimpah ini! It's like a dump area, but in a good way.

Saat itu, saya sempat berpikir, apakah saya harus membeli sebuah buku? Apakah ini saatnya saya harus mulai membaca? Tapi, buku apa yang membuat saya tertarik untuk membacanya? Buku apa yang membuat diri ini merasa semangat dan merasa "butuh" untuk membaca dan membaca lagi?

Oh ya, saat itu saya sedang traveling ke Bandung. "Jadi apa saya harus beli buku tentang tempat-tempat wisata di kota Bandung saja?" pikir saya. Dan, mata saya tertuju ke sebuah buku yang berwarna biru. Ada sebuah kata "traveler" di judulnya. "Sepertinya cocok buat saya yang sekarang sedang menjadi seorang traveler atau pejalan. Mungkin saya bisa menuliskan pengalaman traveling saya juga di blog saya yang sudah lama tidak saya sentuh," pikir saya lagi.

Saya memang mempunyai sebuah blog di blogspot. Tapi, ya blog terlupakan begitu saja, karena ternyata menulis itu susah, walaupun hanya menulis sebuah kegiatan sehari-hari misalnya. Saya merasa sangat susah sekali memulai sebuah kata, apalagi menyusun kalimat demi kalimat, dan menjadikannya sebuah paragraf. Pencapaian yang luar biasa bagi saya jika sudah berhasil menulis satu atau dua buah paragraf. Walaupun, setelah dibaca kembali, tulisannya sering saya hapus atau disimpan di draft. 

Saya kemudian membaca bukunya. Kata demi kata, kalimat, paragraf, bahkan berlembar-lembar halaman tidak terasa saya baca. Mengalir begitu saja seperti saya sedang mendengar seseorang bercerita tentang pengalaman traveling-nya. Terkadang, tanpa sadar saya mengangguk-angguk, berpikir sejenak, tertawa, tersenyum, dan merasa khawatir ketika sedang membaca pengalaman traveling Trinity saat ia berada di daerah-daerah pelosok di Indonesia atau saat traveling ke suatu negara dengan bahasa yang berbeda.

Saya merasa beruntung sudah membelinya dan semakin tertarik dengan buku ini karena kalimatnya sederhana, bahasanya santai, ide-idenya mudah dipahami, dan yang terpenting jadi membuat saya ingin membacanya lagi dan lagi. 

Saya berpikir, "Kok bisa ya seseorang membuat buku seperti ini? Berarti untuk membuat buku, atau setidaknya membuat tulisan itu tidak melulu harus menggunakan kalimat dan bahasa yang baku dan formal. Tidak selalu harus menampilkan istilah-istilah yang keren yang berkaitan dengan istilah pendidikan, science, hukum, atau apalah namanya.

Buku sederhana seperti ini yang hanya menceritakan pengalaman traveling seseorang saja bisa dibuat menjadi sebuah buku, diterbitkan, dan malah sangat bagus jika dikemas dengan menarik."

Saya jadi teringat kembali nasib blog saya yang sudah lama tidak ada posting-an baru, karena saya menyerah untuk menekuni dunia tulis-menulis. Ternyata, sangat susah untuk bisa menulis. Bahkan, untuk memulai satu kata pun saya merasa bingung harus menuliskan apa.

Dan, walaupun misalkan saya sudah berhasil membuat satu kalimat, seringnya saya hapus lagi karena tidak tahu harus melanjutkan dengan kalimat apa lagi. Saya juga merasa ragu apakah susunan kalimatnya sudah benar? Apakah bahasanya sudah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia?

Itulah kenapa, saya merasa sangat sangat sangat menyesal kenapa saya tidak hobi membaca dari dulu. Dari semenjak di bangku sekolah dan saat kuliah dulu. Kenapa saya tidak segera mencari dan membaca banyak buku. Waktu sekolah dan kuliah dulu, memang saya membaca buku. Tapi, hanya membaca buku pelajaran dan buku-buku materi yang sesuai dengan jurusan yang saya ambil.

Jadi, hanya membaca untuk keperluan sekolah dan kuliah saja, untuk menyelesaikan tugas dan mengerjakan ujian misalnya. Selebihnya, tidak ada buku lain yang saya baca lagi untuk melatih kemampuan menulis saya.
 
Mercusuar Cikoneng, Anyer. (Dok. Pribadi) 

Setelah saya selesai membaca buku The Naked Traveler dari Trinity. Saya merasa bersemangat lagi untuk mengisi blog saya. Saya tulis pengalaman traveling saya mengunjungi sebuah Mercusuar di Cikoneng Anyer waktu dulu, sebelum saya traveling ke Bandung.

Saya menceritakannya dengan lengkap, mulai saat saya pertama kali membuka pintu rumah, saat di perjalanan dengan menggunakan motor, apa yang saya lakukan di mercusuar, dan perjalanan kembali pulang. Tapi, perjalanan yang memakan waktu hampir seharian itu hanya bisa saya sampaikan dalam beberapa baris kalimat, tidak lebih dari dua puluh kalimat. Itupun bukan dalam bentuk paragraf, tapi baris.

Walaupun, sedikit tidak puas dan mengecewakan lagi, tapi saat itu, tulisannya tidak saya hapus atau simpan di draft. Saya menghargai usaha diri saya yang sudah dengan bersusah payah menulis dan mengunggah foto-foto di sana. Apalagi, saya sudah mulai membaca sekarang. Sedikit banyak sudah saya pelajari cara membuat kalimat dan paragraf. Kemudian, saya memberanikan diri untuk membagikan tulisannya ke Facebook. Walaupun, hasil tulisannya tidak begitu memuaskan tapi setidaknya itu yang terbaik yang bisa saya lakukan.

Bertahun-tahun, isi blog saya hanya tulisan itu saja, tentang pengalaman saya traveling ke Mercusuar Cikoneng, Anyer. Tidak ada post baru lagi yang saya buat. Pengalaman traveling di Bandung saja tidak saya tulis. Saya menyerah, saya merasa menulis bukan bidang yang bisa saya tekuni, bukan kemampuan yang bisa terus saya tingkatkan, dan yang lebih parah lagi saya merasa menulis adalah kegiatan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Seperti, orang yang sudah mempunyai pendidikan tinggi, orang yang sudah pergi ke luar negeri, atau orang yang sudah menerbitkan buku.

Untungnya, pemikiran-pemikiran seperti itu tidak berlarut-larut ada di pikiran saya. Di tahun 2018 saya membeli buku Free Writing karya Hernowo Hasim. Buku ini membahas tentang teknik menulis secara bebas.


Sebenarnya, ketika saya membaca buku dari Trinity, saya juga sambil mencari-cari buku tentang teknik menulis. Buku tentang suatu teknik menulis bagaimana tahapan awal menulis sehingga kita bisa menyusun suatu paragraf. Tapi, saat itu tidak ada satu teknik menulis pun yang berhasil membuat saya menulis bahkan satu paragraf pun. Walaupun saya sudah mengikuti tahapan-tahapan cara membuatnya di buku tersebut. Malah, ketika membaca paragraf demi paragraf dari buku Trinity, saya sambil menerka-nerka jenis tulisannya, apakah termasuk ke dalam narasi atau deskripsi, atau malah jenis tulisan lain.

Ternyata, jawabannya ada di buku Free Writing ini. Saya jadi tahu kesalahan saya saat menulis. Teknik menulis free writing atau teknik menulis bebas mengajarkan saya untuk menulis apapun yang saat itu ada di pikiran saya. 

Tuangkan saja tanpa harus memikirkan apakah kalimat-kalimatnya saling berhubungan atau tidak! Tulis saja tanpa harus memikirkan jenis tulisannya, apakah masuk ke dalam jenis narasi, deskripsi, atau jenis tulisan lain! Tulis saja tanpa harus terbebani dengan ini dan itu; apakah bahasanya formal atau tidak, apakah tulisan baku atau tidak, dan lain-lainnya!

Tapi, kesalahan terbesar yang saya buat adalah, saat itu saya tidak "menyimpan" dulu tulisan-tulisan yang saya buat. Saya malah menghapusnya. Tidak membacanya lagi dan tidak sabar ingin langsung mem-posting-nya. Padahal, menulis dan membaca lagi, serta menyunting tulisan kita adalah hal yang wajar. Tidak bisa langsung jadi.


Buku Free Writing menjelaskan bahwa, walaupun kita harus segera menulis apa yang ada di benak kita saat itu, tapi bukan berarti tulisan kita sudah selesai. Lebih baik kita "menyimpan"-nya terlebih dahulu dan membacanya lagi di lain waktu untuk memperbaiki beberapa kata yang typo, kalimat yang tidak tersusun menurut ide kalimat, atau tidak ada kohenrensi-nya dari satu paragraf ke paragraf lainnya. Kegiatan tersebut bisa kita ulang-ulang sampai mendapatkan tulisan yang kita mau, atau yang menurut kita sudah selesai.

Di buku tersebut, bapak Hernowo Hasim juga menekankan bahwa kita juga membutuhkan membaca banyak buku, terutama yang berkaitan dengan topik yang kita baca. Hal yang mustahil jika kita ingin menulis dan menuangkan ide tersebut dalam suatu tulisan, tapi kita tidak suka membaca. Bagaiman bisa kita menuliskan ide-ide yang ada dibenak kita tanpa mau membaca. Karena, membaca adalah salah satu cara agar kita dapat memperkaya kosakata. Kita juga bisa melihat susunan kalimat, bahasa, dan bagaimana cara si penulis menuangkan suatu ide dengan baik.

Teknik Free Writing masih saya gunakan sampai sekarang dalam menulis blog atau artikel.  Tulisan-tulisan yang sudah saya buat, tidak langsung saya anggap selesai. Tapi, saya simpan, baca lagi dan lagi, dan kemudian saya sunting. Malah seringnya, setelah satu kali nulis dan saya simpan, saya kemudian membaca artikel atau buku yang berhubungan dengan topik tulisan saya tadi. Atau, menulis topik lain untuk sekedar penyegaran otak. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Hiking ke Gunung Karang, Bisa Sambil Berkemah dan Belajar Sejarah

Wisata Religi ke Batu Quran Pandeglang Banten

Istilah Staycation Semakin Populer, Apakah Artinya?

Travel Blog Indonesia Untuk Kita Semua

Pantai Bandulu Anyer, Lebih Mantap Dikunjungi Setelah Matahari Terbenam

4 Hal Seru Yang Ada Di Pantai Bandulu Anyer

Titik Nol Kilometer Anyer - Panarukan